Tiga hari terakhir di Nepal kami gunakan untuk recovery, satu malam di Pokhara dan dua malam di Kathmandu. Setelah perjalanan panjang trekking menuju Annapurna Base Camp, tubuh rasanya butuh jeda.
Begitu sampai di hotel Pokhara, hujan masih turun rintik-rintik. Kami sudah terlalu lelah untuk keluar, tapi perut lapar tidak bisa diajak kompromi. Akhirnya kami memesan makanan secara online dari Lazeez Halal Food. Sambil menunggu makanan datang, kami menjemur pakaian basah karena hujan di kamar, berharap cepat kering supaya tidak terlalu berat dibawa nanti.
Keesokan paginya, sekitar pukul 10, kami mulai keluar untuk menikmati kota Pokhara. Kami memesan taksi lewat Indrive, dan sopirnya menawarkan untuk mengantar ke empat lokasi wisata dengan tarif 2.000 NPR. Saya menawar sedikit: sekalian nanti diantar ke tempat makan, lalu kembali ke hotel ambil barang, dan terakhir ke bandara, dengan tambahan 1.000 NPR. Deal.
Rute hari itu ternyata sangat efisien, semua lokasi berada searah di sisi selatan Danau Phewa, membentuk satu jalur melingkar yang cantik: Pumdikot Statue View Point, World Peace Pagoda, Devi’s Fall, dan Gupteshwor Mahadev Cave. Jalan menuju ke sana menanjak dan berliku, menyingkap panorama Pokhara dari ketinggian.
Tujuan pertama kami adalah Pumdikot Statue View Point, tempat berdirinya patung raksasa Dewa Shiva setinggi 51 kaki di atas stupa putih. Dari pelataran di sekitarnya, kami bisa melihat seluruh lanskap Pokhara: danau yang berkilau di bawah dan di kejauhan barisan megah pegunungan Annapurna.
Beberapa menit menurun dari Pumdikot, kami tiba di World Peace Pagoda atau Shanti Stupa. Sopir menurunkan kami di jalur pintas menuju lokasi, sehingga kami hanya perlu berjalan kaki menurun, lumayan membantu kaki dan betis yang masih protes setelah mendaki gunung.
Stupa berwarna putih bersih itu berdiri anggun di punggung bukit, menghadap langsung ke Danau Phewa. Dari sini, terlihat perahu-perahu kecil melintas di atas air dan siluet gunung Machhapuchhre di kejauhan. Suasananya damai, cocok untuk berhenti sejenak, duduk di tangga pagoda, dan menikmati angin lembut yang bertiup dari arah danau.
Perjalanan dilanjutkan menuruni bukit menuju Devi’s Fall, air terjun yang katanya unik karena alirannya menghilang ke dalam lubang batu besar di bawah tanah. Tapi terus terang, menurut saya tidak terlalu istimewa. Tepat di seberangnya, ada pintu masuk ke Gupteshwor Mahadev Cave. Kami hanya sempat berfoto di tangga melingkar menuju gua dan tidak lanjut turun ke dalam, mungkin karena rasa malas yang tersisa setelah trekking. Padahal dari foto-foto di internet, bagian dalam gua tampak menarik.
Menutup perjalanan siang itu, kami kembali ke kawasan Lakeside untuk makan siang di Pokhara Halal Food Land. Meski sedang direnovasi, mereka tetap buka dengan tempat makan seadanya. Awalnya mau bungkus saja, tapi akhirnya kami makan di tempat. Setelah memesan, kami berjalan sebentar ke tepi Danau Phewa. Di sana ada penyewaan paddle board, seru sekali sepertinya kalau bisa mencoba stand up paddle di danau, tapi waktu kami sudah tidak cukup. Kami menikmati pemandangan sebentar, lalu kembali ke kedai.
Makanannya lezat: chicken wings, butter chicken, dan chicken biryani jadi santapan terakhir kami di Pokhara.
Setelah makan, kami kembali ke hotel mengambil barang, lalu menuju bandara. Pesawat dijadwalkan pukul 17.00, tapi begitu check-in, petugas memberi tahu ada perubahan: kami digabung ke penerbangan lain yang awalnya pukul 15.00, tapi mengalami delay hingga 19.00. Sebenarnya jam 17.30 sudah berada di pesawat, tapi pilot menyampaikan ada kendala runway di Tribuvan airport, sehingga kami diminta menunggu kembali di ruang tunggu. Ya sudah, dinikmati saja.
Tiket pesawat baru kami beli semalam sebelumnya seharga 1,6 juta/orang, jauh lebih mahal dibanding bus yang hanya 150 ribu, tapi saya masih trauma dengan perjalanan bus sebelumnya, jadi pilihan naik pesawat terasa worth it.
Kami baru memesan hotel menjelang pesawat lepas landas. Pilihan jatuh pada Hotel Mega di kawasan Thamel, dengan tarif sekitar 425 ribu/malam untuk kamar bertiga, sudah termasuk sarapan. Kamarnya luas, lengkap dengan dapur mini. Biasanya saya senang bisa masak sendiri, tapi kali ini kami memutuskan istirahat dan menikmati makanan lokal saja, toh makanan halal di Kathmandu mudah ditemukan. Sarapannya minimalis dalam porsi terbatas tapi cukup lengkap, enak dan mengenyangkan.
Hari terakhir di Nepal, kami menyempatkan diri mengunjungi tiga ikon utama Kathmandu:
- Swayambhunath Stupa (Monkey Temple)
- Boudhanath Stupa, dan
- Kathmandu Durbar Square
Pagi itu kami mulai dari Swayambhunath Stupa, stupa besar di puncak bukit yang dikenal dengan mata Buddha menatap ke segala arah. Untuk mencapainya, kami menaiki ratusan anak tangga sambil memperhatikan monyet-monyet yang bebas berkeliaran. Begitu sampai di atas, pemandangan lembah Kathmandu terbentang luas di bawah langit biru. Aroma dupa bercampur angin pagi menciptakan suasana damai dan sakral.
Dari sana, kami menuju Boudhanath Stupa, situs suci bagi umat Buddha Tibet. Stupa besar berwarna putih dengan mata Buddha di empat sisinya ini dikelilingi biara, kafe, dan toko suvenir khas Tibet. Kami tidak sempat masuk ke area dalam, tapi suasana spiritual di sekitarnya sudah sangat terasa.
Menjelang siang, kami tiba di Kathmandu Durbar Square, pusat sejarah kerajaan lama. Hari itu ternyata bukan hari biasa, 30 September bertepatan dengan hari Maha Asthami, hari ke-8 dari festival besar Dashain, perayaan kemenangan Dewi Durga atas kekuatan jahat.
Durbar Square sangat ramai: penduduk lokal mengenakan pakaian tradisional, dentuman gendang dan musik khas Newar mengisi udara, dan di antara keramaian itu muncul arak-arakan Kumari, sang Living Goddess. Kereta kayu berhias kain merah dan emas melintas di jalan berbatu, membawa gadis kecil berpakaian merah menyala yang duduk diam dengan wajah tenang. Dia Kumari, titisan Dewi Durga yang hanya muncul pada momen istimewa seperti ini. Kami merasa beruntung bisa menyaksikan langsung prosesi sakral itu, momen tak terduga yang membuat hari terakhir kami di Nepal terasa begitu berkesan.
Sore hari, kami mampir ke Hard Rock Café untuk membeli kaos suvenir, lalu menikmati kopi di Himalayan Java Coffee, kafe lokal yang populer di Kathmandu. Mungkin itu local proud pengganti Starbucks. Dari balkon kafe, kami bisa melihat Narayanhiti Palace Museum, istana raja yang kini berubah menjadi museum sejak Nepal beralih dari monarki ke sistem parlementer.
Malamnya kami makan di Al Madina Halal Restaurant, restoran halal termurah sekaligus terenak selama di Nepal. Hidangan sederhana tapi lezat.
Alhamdulillah, sungguh sebuah perjalanan yang sangat berkesan. Saat trekking, ada banyak momen ketika rasanya ingin menyerah — kaki pegal, napas tersengal, dan pikiran sempat bertanya, “Apa sih yang sebenarnya dicari?” Bahkan sempat terlintas, kalau suatu hari kembali ke Nepal, mungkin lebih baik naik helikopter saja!
Tapi semua rasa lelah itu perlahan tergantikan oleh kepuasan yang sulit dijelaskan. Setiap langkah terbayar lunas ketika melihat pemandangan megah di depan mata, ketika menyadari bahwa kita berhasil melewati batas diri sendiri. Kini, setelah semua terlewati, rasa ingin menyerah itu berganti menjadi rindu. Rindu akan jalur pendakian, suara gemericik sungai, dan sejuknya udara pegunungan Himalaya.
Entah kapan, tapi rasanya ingin kembali, mungkin untuk menchallenge diri di Everest Base Camp di kesempatan berikutnya.
Mudah-mudahan Allah memberikan kesehatan, kekuatan, dan kesempatan untuk mewujudkannya.
Ringkasan Biaya Perjalanan
Berikut rincian pengeluaran selama 9 hari perjalanan di Nepal, termasuk trekking ke Annapurna Base Camp:
- Tiket pesawat Jakarta–Kathmandu (PP): Rp5,7 juta
- Visa On Arrival: USD 30 (≈ Rp500 ribu)
- Tiket pesawat Pokhara–Kathmandu (satu arah): Rp1,6 juta
- Pengeluaran selama di Nepal (permit, bus, hotel 4 malam, taksi, jeep, makan/minum, biaya trekking): 000 NPR ≈ Rp3 juta
Total: ± Rp10,8 juta/orang












Leave a comment