Trip 4-stan: Tashkent, Kota Putih yang Seperti Negeri Dongeng

Perjalanan darat dari Bishkek menuju Tashkent menjadi salah satu pengalaman paling berkesan selama menjelajahi Asia Tengah.  Meskipun sudah sering mengunjungi negara saat sedang bersalju, ini momen pertama kali menyaksikan salju turun dengan lebat di perbatasan Uzbekistan di tengah malam sambil menggeret koper.

Bus berangkat sore dan berhenti dua kali untuk pemeriksaan imigrasi. Pemberhentian pertama di perbatasan Kyrgyzstan–Kazakhstan sekitar pukul 22.00 malam. Semua penumpang turun membawa barang bawaan untuk pemeriksaan imigrasi Kyrgyzstan. Kami sempat tertahan sebentar karena petugas tampak ragu dengan visa kami, tapi akhirnya paspor tetap dicap dan perjalanan berlanjut. Setelah itu kami berjalan menuju pos imigrasi Kazakhstan. Prosesnya cepat dan lancar, karena WNI memang bebas visa ke Kazakhstan.

Perhentian kedua terjadi di border Kazakhstan–Uzbekistan sekitar pukul 02.00 dini hari. Masuk ke Uzbekistan pun mudah karena bebas visa bagi WNI. Pemeriksaan cepat, suasana tenang, hanya saja salju turun deras sekali.  Dingin tidak terlalu terasa karena  hati terasa hangat dan bahagia melihat salju. Kami juga memang sudah persiapan poll untuk menjaga agar kami tidak kedinginan.

Awalnya kami ingin naik taksi ke Tashkent karena konon bus bisa tertahan lama di pos pemeriksaan. Namun mencari taksi Yandex tidak semudah yang dibayangkan, bahkan setelah berjalan jauh dari area imigrasi sambil menyeret koper. Akhirnya, saat bus kami lewat,  memutuskan untuk naik kembali hingga terminal akhir di Tashkent.

Begitu tiba di Tashkent, suasananya terasa begitu magis. Kota ini benar-benar berubah menjadi negeri putih, pohon, rumah, dan jalanan semua diselimuti salju tebal. Kami naik taksi menuju Shosh Boutique Hotel, hotel mungil tapi nyaman. Kami tetap pesan 2 malam agar pagi-pagi bisa langsung masuk kamar tanpa menunggu waktu check-in hari itu. Jadi bisa mandi dan istirahat. Kamarnya luas, bersih, dan hangat, dengan harga sekitar Rp450.000 per malam untuk bertiga, sudah termasuk sarapan sederhana berupa roti, telur, dan buah segar.

Siang harinya kami menuju  mal of Tashkent untuk  ke money changer menukar uang ke mata uang Som Uzbekistan, membeli SIM card lokal, makan siang, sekaligus cuci mata. Beberapa teman membeli sepatu baru karena sepatunya basah terkena salju, sementara saya membeli kaos untuk tidur.

Kami memilih makan di Boboy Restaurant, restoran lokal yang ramai pengunjung dan terkenal dengan hidangan khas Uzbekistan. Kami jatuh cinta dengan teh buah khas Asia Tengah, teh hangat beraroma rempah dan potongan buah yang begitu menenangkan di udara dingin, jadi minuman ini yang selalu menjadi standar pesanan kami setiap kali masuk restaurant.

Setelah makan, kami berjalan santai di taman depan mal. Salju menutupi seluruh taman seperti permadani putih. Di tengah suasana damai itu, seorang bapak mendekati saya dan mengajak berfoto bersama. Mau menolak rasanya tidak sopan, jadi saya hanya tersenyum malu. Beberapa hari sebelumnya saat day trip ke Charyn Canyon, saya juga diajak berfoto oleh seorang ibu, Boleh geer dikit dong, karena saya aja yang diajak foto. Entahlah, mungkin karena mereka ramah atau mungkin karena wajah asing saya menarik perhatian mereka.

Tujuan berikutnya adalah Hazrati Imam Complex, pusat spiritual Islam di Uzbekistan sekaligus lokasi Mushaf Utsmani, Al-Qur’an tertua di dunia. Kompleks ini megah dan tenang, dengan kubah biru. Kami sempat salat zuhur di sana sebelum berkeliling menikmati arsitektur klasik yang cukup memukau.

Di bawah kubah biru raksasa khas arsitektur Soviet, deretan pedagang Chorsu Bazzar pasar sentral di Tashkent legendaris menjajakan rempah-rempah harum, roti tradisional, buah kering, hingga karpet, souvernir kerajinan tangan khas Uzbekistan. Warna-warni, aroma, dan suara hiruk pikuk berpadu menjadi satu. Bagi siapa pun yang ingin merasakan suasana autentik Tashkent, Chorsu Bazaar bukan sekadar tempat belanja, melainkan potret hidup kebudayaan dan keseharian masyarakat Uzbekistan.

Di dekat Chorsu Bazaar berdiri megah Kukeldash Madrasah, bangunan abad ke-16 yang menjadi ikon kota. Arsitekturnya khas Asia Tengah dengan dinding bata berornamen dan gerbang megah berlapis ubin biru. Dahulu madrasah ini merupakan tempat belajar agama dan ilmu pengetahuan bagi para ulama muda. Kini, bangunan bersejarah ini tetap memancarkan nuansa spiritual dan ketenangan di tengah hiruk pikuk kota modern Tashkent.

Kami bermalam di Tashkent dan keesokan paginya bersiap melanjutkan perjalanan menuju Samarkand menggunakan kereta cepat, petualangan berikutnya di tanah Uzbekistan yang penuh pesona.



Leave a comment