Saya kaget banget saat mengetahui kakak saya tidak ikut dalam kereta yang membawa kami ke Osaka. Begitu turun untuk ganti kereta di stasiun Shijo Karasuma, kakak saya gak ada. OMG, bencana. Ini suatu hal yang tidak diantisipasi sebelum berangkat. Dan celakanya baru ketahuan setelah 50 menit berkereta. Kalo tau lebih cepat, saya bisa turun di station terdekat dan kembali ke tempat kami berpisah. Kesalahan utamanya ada sama saya. Saya lupa kalo kakak saya sempat minta ijin untuk beli air minum di supermarket yang ada di station kereta dan hanya saya yang dengar. Jadi saya bilang ke kakak saya, kami menunggu di dekat vending machine. Pengalih perhatiannnya cukup banyak waktu itu. Anak-anak kehausan, daripada repot turun ke supermarket, anak-anak saya belikan air mineral di vending machine. Trus mereka kelelahan sehabis jalan-jalan di Kyoto, jadi saya harus membujuk mereka untuk tetap semangat. Lalu sempat ngobrol rame-rame tentang rute hari ini. Kemudian ada petugas ngusir-ngusir kami agar segera berpindah. Intinya sih gak boleh bergerombol di dalam station kereta. Kami berpindah sekaligus jalan menuju platform kereta. Rasanya cukup lama kami menunggu lalu jalan. Saya gak tau apakah kakakku itu bukan hanya sekedar nyari air minum tapi sekalian observasi barang-barang yang ada di supermarket. Wallaahu alam.
Sekitar 15 menit berfikir di station kereta itu sambil menunggu kali-kali aja k ira menyusul dengan kereta berikutnya. Di telpon gak ada nada sambung. Di sms, di messenger, di WA dan di BBM semuanya dikirimi pesan. Malah saya sampai kirimin pulsa ke kakakku itu. Teman-teman ngasih sumbang saran, coba diingat-ingat kira-kira apa yang dilakukan oleh kakakmu jika terjadi hal ini. Susah juga jawabnya.
Waktu berjalan terus, udah jam 6.30 malam sementara jam 10 malam itu kami harus naik bus menuju Tokyo. Rencananya sebenarnya kami mau terus jalan ke Universal Studio, ke Hard Rock Café di sekitar situ, trus ke hotel ambil barang lalu ke terminal Willer Bus. Saya memutuskan untuk balik ke tempat kami terpisah, kemudian teman-teman langsung ke hotel dan terus ke terminal bus. Mereka harus tetap meneruskan perjalanan ke Tokyo. Ada Risma yang bisa memandu mereka sampai ke Tokyo. Risma kelihatan ragu-ragu juga, tapi saya tetap ngasih email konfirmasi tiket bus, tiket hotel di Tokyo dan beberapa petunjuk. Teman-teman ngasih support ke saya berupa powerbank, charger dan wifi mobile. Jangan sampai saya gak bisa dihubungi. Kalo dari pihak mereka, ada K’Ishak yang siap komunikasi.
Saya tidak terlalu kuatir sendirian berada disini. 2 hari di Osaka saya merasa aman-aman saja, orang-orangnya keliatan individualis tapi begitu mereka dimintai bantuan akan sangat menolong semampu mereka. Saya sampai di Karasuma station, kembali ke tempat tadi. Saya bertanya sama penjual di toko bunga yang ada di tempat kami berpisah sambil memperlihatkan foto kakakku, apakah pernah liat orang ini. Begitu juga sama petugas yang piket jaga pintu keluar masuk untuk naik kereta. Station Karasuma ini terhubung dengan Station Shijo. Dari Kyoto untuk interchange kereta ke Osaka ada di station ini. Tanya lagi sama petugas yang piket jaga pintu keluar masuk untuk naik kereta. Gak ada hasil. Bingung. Lalu saya bertanya dimana bisa melapor tentang kehilangan. Diarahkanlah saya ke kantor polisi yang berada di sekitar Exit 6 Shijo Station. Saya kesana dan diterima sama petugas jaga cowok dan cewek. Dua-duanya lumayan bisa Bahasa Inggris. Saya menyampaikan bahwa saya terpisah dengan kakak saya. Mereka nanyanya detail, pelan, dan sangat perhatian. Ada sekitar 45menit saya di kantor polisi itu. Lalu mereka menanyakan apa rencana saya malam ini. Saya jawab saya akan tetap tinggal di Kyoto sampai ada kabar tentang kakak saya. Mereka nanya lagi dimana akan menginap malam ini. Saya bilang, saya akan nginap sekitar sini. Lalu saya permisi untuk googling penginapan sekitar situ dan tunjukkan ke mereka apakah mereka tau lokasi hostel hasil googling. Karena mereka gak tau, saya minta mereka yang rekomendasikan penginapan sekitar situ. Mereka lalu menelpon hotel kapsul First Cabin, dikonfirmasi ada kapsul tersedia dengan harga 3900Yen. Nyari di booking.com nemu harga kapsul First Cabin hanya 3000Yen. Bu polisinya terheran-heran kenapa bisa lebih murah dan takjub juga saat saya bilang saya jalan-jalan sendiri tanpa pake guide. Waduh hari gini masih gak tau istilah backpacker, bu polisi? Mereka juga ngetes nomor telpon saya untuk memastikan bahwa saya bisa dihubungi kalau ada kabar dari mereka.
First cabin itu dekat sekali dari kantor polisi Shimogyo. Jalan kaki 300meter. Dari luar saja sudah keren. Hotel kapsul itu gak terlalu cocok dengan orang Indonesia yang susah ngomong dengan suara rendah, apalagi dalam grup besar. Bersih, serba elektronik. Untuk sampai ke kamar, harus scan kartu di pintu masuk, trus di lift, trus untuk masuk kamar. Masuk kamar mandi juga harus scan kartu. Kapsulnya berukuran sekitar 1.20x2m, ada TV 32 inch tergantung di dalam kapsul dan harus pake headset kalo mau nonton TV, tersedia handuk, baju tidur model kimono dan ada penutup kapsul. Di dalam kamar itu ada sekitar 15 kapsul. Suasananya sangat hening sekali. Sempat ketemu sama orang Indonesia yang baru juga mau nginap disitu tapi sudah check in. Saya cuman sebentar di dalam kapsul, gak tenang rasanya sementara kakak saya belum ada kabar. Jadi niat keluar lagi, jalan-jalan aja kali-kali beruntung ketemu. Sempat duduk di lobby hotel mengatur tas ransel, kemudian ada kabar bahwa kakak saya sudah ada di terminal bus bersama mereka. Alhamdulillah. Jadi kak Ira pada saat terpisah, berusaha untuk menyusul ke Universal Studio, trus balik ke hotel dan lanjut ke terminal bus dengan minta bantuan orang local.
Saya kabari resepsionis di hotel apakah saya boleh cancel untuk tidak menginap. Petugasnya lalu ngecek kapsul dan bilang bisa. Alhamdulillah, 3000yen gak jadi melayang sia-sia. Petugasnya itu baik banget, pada saat check in tadi, dia sempat mendoakan agar kakak saya segera ketemu.
Saya mencoba memesan bus dari Kyoto ke Tokyo malam itu juga, tapi sudah tidak available. Untuk go show tidak memungkinkan karena Willer bus hanya bisa dipesan online. Gak cukup waktu untuk ngejar Risma n the gank. Rencananya mau naik pesawat aja besok.
Saya masih mampir ke kantor polisi ngabarin kalau kakak saya sudah ketemu dan mengucapkan terima kasih atas bantuan mereka lalu segera naik kereta menuju Osaka. Di Osaka station saya ke tempat menunggu airport bus. Mesin tempat beli tiketnya udah ketutup. Saya bingung dengan informasi yang saya dapat diinternet yang menyatakan airport bus paling pagi jam 3.30, padahal saya dapat info juga airport bus sudah 24 jam. Tempat menunggu airport bus, sangat sederhana hanya papan informasi dalam Bahasa Jepang. Gak ada orang yang bisa ditanya sekitar situ dan saya gak nyaman menunggu disitu. Tempatnya sepiiii. Sementara Osaka station udah siap-siap ditutup.

kedai fast food tempat nongkrong tengah malam di osaka….
Saya keluar nyari internet café di sekitar station. Internet café di Jepang merupakan salah satu alternative para traveler untuk menginap dengan cara murah. Tarifnya cuman sekitar 980yen untuk private booth selama 5 jam, sekitar 1500yen selama 10jam dan bisa juga per jam. Biasanya traveler hemat, setelah seharian explore kota mereka ke internet café untuk tidur. Seandainya saya jalan berdua aja, saya akan mencoba tidur di internet café minimal semalam dan merasakan sensasinya. Hihihi. Gak jauh dari station, ketemu internet café. Tapi kok ya saya gak pede masuk ke dalam. Sendirian sih. Saya lalu masuk ke kedai fast food yang buka sampai jam 2pagi di dekat situ. Gak ngerti mereka jualan apa, saya cuman pesan French fries. Yang penting bisa nongkrong sampai kedainya tutup dan tidak kedinginan. Setelah jam 2 mau nongkrong dimana ntar dipikirin. Saya lalu booking tiket pesawat Jetstar untuk jam 07.45 pagi. Dan baru nyadar, pasporku tidak ada. OMG.
Ampun deh. Ih gemesnya pada diriku.
Paspor itu mungkin jatuh saat duduk di kursi lobi hotel First Cabin. Saya sempat foto kapsul tempat saya menginap dan passport ada tergeletak disitu. Kemudian ada email dari hotel tersebut mengabarkan pasporku tertinggal dan mereka menyerahkan paspor itu ke kantor polisi Shimogyo. Memikirkan ke Kyoto kembali untuk ambil paspor, bikin saya eneg. Saya jalan ke kantor polisi terdekat. Kali aja ada solusi terbaik yang diberikan pak polisi yang bikin saya gak perlu ke Kyoto. Ngareppp. Google map kurang sip untuk jadi panduan bikin saya banyak bertanya ke orang-orang yang lewat. Jam 1 malam, gak terlalu sepi. Banyak supir taxi, kebanyakan supirnya bapak-bapak tua. Wanita bersepeda ada beberapa kali melintas.
Pak polisi yang saya hadapi kali ini gak bisa Bahasa Inggris tapi dia ngerti. Pak polisi satunya berkomunikasi via Google translate. Saya minta tolong bagaimana caranya saya bisa dapat paspor segera sementara saya dibatasi oleh waktu, sudah terlanjur beli tiket pesawat jam 0745. Kalo saya naik kereta saya akan ketinggalan pesawat karena kereta pertama Osaka-kyoto jam 5pagi. Pak polisi lalu mengkonfirmasi ke Shimogyo. Saya dikasih solusi untuk naik taxi kesana ambil paspornya sendiri. Tidak ada jalan lain. Ekspektasi saya terlalu tinggi terhadap orang Jepang. Hihihi. Berharap mereka ngasih solusi, tunggu aja disini, paspor akan kami bantu untuk dikirim. Tapi sengaja saya ke kantor polisi itu sekaligus memberikan waktu buat saya berfikir mencari solusi yang terbaik dan juga dibantu berfikir sama pak polisi.
Apa boleh buat, harus naik taxi ke kyoto. Pak polisi memperkirakan ongkos taxinya 20ribu yen atau sekitar 2,4juta rupiah. Nyesekk banget secara itu 1/3 dari budget perjalanan saya selama 7hari. Osaka-Kyoto memang jauh 55 km dan tau sendiri kan Jepang negara mahal. Perbandingan antara naik taxi dengan kereta shinkansen (waktu tempuh 15menit) Osaka Kyoto 1:3 . Artinya 4 orang naik 1 taxi seharga 20ribu yen dibandingkan 4 orang naik shinkansen seharga 6ribu yen (4x@1500yen). Apalagi kalo naik kereta biasa (waktu tempuh 50menit), perbandingannya bisa 1:10.
Saya keluar dari kantor polisi, di sekitar situ ada taxi mangkal. Hujan gerimis mulai turun. Saya masuk ke taxi, tapi baru mau nanya-nanya. Berapa perkiraan harga ongkos taxi ke Kyoto. Sopirnya terheran-heran, ngapain ke Kyoto. Nyerocos aja pake Bahasa Jepang. Saya jelaskan paspor saya ketinggalan lalu tunjukkan email dari hotel yang ada Bahasa kanjinya. Lalu dia telpon ke kantor polisi Shimogyo untuk memastikan tentang paspor itu. Dia bilang ok. Tapi saya tetap meminta harga perkiraannya, saya bukakan kalkulator di handphone saya. Dia ngetik angka 15,000yen. Deal.
Waktu tempuh yang 1 jam 15 menit tak terasa, habis ngantuk banget. Sebenarnya harus tetap waspada, manalah tau dibawa kemana-mana. Pasrah dan berdoa semoga perjalananku dilindungi dan dimudahkan olehNya. Alhamdulillah nyampe juga. Bapak supir taxi menawarkan untuk menemani masuk ke kantor polisi. Saya bilang, terimakasih biar saya sendiri. Si Bapak nyerocos tentang pulang ke Osaka, tapi saya gak nanggapi. Gak ngerti juga apa maksudnya. Yang dimaksudkan mungkin baik, tapi saya mau naik kereta saja. Si Bapak menghentikan argonya, argo yang tertera 16,680Yen. Setelah dicetak struknya, saya diminta membayar 11ribuan yen. Gak ngerti juga apa si Bapak emang niat bantu atau emang dapat diskon. Padahal harusnya makin malam ongkos taxi semakin mahal. Anyway, thank you sir.
Paspor diberikan oleh ibu Nachiko, si ibu polisi yang sebelumnya menangani saya. Kemudian saya minta ijin untuk bisa tinggal disitu sampai kereta pertama beroperasi. Jam 4.30 saya terbangun dan segera ke station kereta. Rupanya pintu exit terdekat masih terkunci, di seberang jalan juga begitu. Menunggu, gak ada tanda-tanda jam 5 pintunya dibuka. Saya mencari pintu exit lain, harusnya ada yang terbuka karena kereta pertama beroperasi jam 5 pagi. Udara dingin banget, dan saya hanya pakai pakaian selapis. Beruntung pintu ketiga gak terkunci. Alhamdulillah, saya bisa segera naik kereta pertama.
Sampai di Osaka/Umeda station, saya setengah berlari ke shuttle airport bus. Ngejar bus yang jam 6 biar gak ketinggalan pesawat. Busnya sudah mau berangkat, tapi masih nungguin saya yang beli tiket di mesin. Alhamdulillah, sisa berdoa semoga gak macet. Alhamdulillah, nyampai jam 7 lewat di bandara dan beruntungnya lagi karena sempat nginap di bandara, saya gak perlu celingak celinguk nyari dimana tempat check in. Cetak boarding pass sendiri di mesin dan langsung menuju ruang tunggu. Alhamdulillah, dibalik kesulitan-kesulitan saya masih diberi kemudahan.
Wow…. senewen bacanya. Tp jadi pembelajaran ya semua akhirnya baik-baik saja…. great post!
yang baca aja senewen hihihi apalagi saya mbak. Tapi saya juga udah ambil sikap bahwa kejadian gak enak ini tidak boleh mempengaruhi jalan-jalan di hari selanjutnya. Everyone should happy…
Waa… akhirnya malah dirimu yang hilang dan kehilangan, di negeri orang dan malam-malam pula. Tapi saya salut dengan manajemen stres dan konflik di dirimu, soalnya semua selalu ada jalan kalau kita mau berpikir jernih. Kalau saya mungkin sudah kebingungan setengah mampus deh harus apa. Terima kasih sudah berbagi, Kak!
hihihi iya trip ini memang full of stress dan rentan konflik. Tapi memang sengaja saya bikin trip gabungan ini biar punya pengalaman baru dan belajar banyak hal termasuk mengukur kemampuan menghadapi predictable n unpredictable situation. sempat kepikiran minta tolong paspor dikirim saja ke hotel di tokyo, tapi gak jadi karena lebih baik dituntaskan segera ketimbang menunda penyelesaian dan bisa jadi ada masalah lain. terimakasih ya Gara
Penyelesaian masalah yang patut saya contoh. Lebih baik selesai ketimbang ditunda, yang akhirnya malah bikin masalah baru. Terima kasih kembali, Mbak!
Seru banget…ikutan tegang hehehe