Mulai dari Nol Yah (Titik Nol Kilometer Indonesia)

20160808_105908

West Zero Kilometre of Indonesia (Sabang)

Dulu saya pernah posting tentang Rencana Jangka Panjang Traveling, semacam bucket list tempat yang pengen dikunjungi dalam 5 tahun. Salah satunya adalah ke titik 0 kilometer Sabang dan Merauke. Udah lewat 5 tahun itu, dan saya belum kesampaian kesana. Untuk tujuan domestik, memang gak terlalu ngotot dan punya perencanaan fix. Sedapatnya saja, sesuai kesempatan yang ada. Kebeneran ada urusan ke Medan yang saya manfaatkan sekaligus ke Banda Aceh. Aih bahagianya, meski ke Banda Aceh harus jalan sendirian. Gak bener-bener sendirian sih, karena ada teman kantor Banda Aceh yang menemani.

20160807_175120

ngopi bareng pak Husaini dan pak Fadli

Sore itu, tiba di Banda Aceh langsung diajak ngopi-ngopi khas Aceh di warung kopi Solong. Warung kopi ini merupakan tempat paling favorit meski tempatnya sederhana. I’m in very good mood especially if come to new place. Kopinya enak, sesuai selera saya gak suka kopi terlalu pahit. Disini juga tersedia kopi bubuk untuk oleh-oleh. Malamnya, saya mencoba mie spesial kepiting di Mie Aceh Razali. Mumpung cuma ditemani supir kantor, kalo ditemani sama yang lain mending pesan makanan yang gak terlalu rempong dimakan. Jaim dikit, hehehe. Wow, kepitingnya ternyata besar, cukup berjuang untuk menyelesaikannya dan jadinya belepotan. Enakk sih, cuman kurang garam dikit.

20160807_215132

Mie Spesial Kepiting Mie Aceh Razali, gede kepitingnya

Saya ke Sabang sendirian, maklum saja hari itu hari kerja. Diantar sampai ke pelabuhan, pas tiba kapal sudah mau berangkat. Meski ada jadwal tetap setiap harinya, tetapi bisa saja berangkat lebih cepat atau lebih lambat atau tidak berangkat sama sekali, tergantung cuaca. Lama perjalanan 45 menit, kapal goyang banget selama 15 menit bikin mual tapi selebihnya tenang sampai di pelabuhan Sabang. Tiba di pelabuhan Sabang, banyak jasa rental motor dan mobil yang menunggu dekat pintu keluar, saya gak langsung menawar. Observasi dulu, nyari yang sreg. Pas udah di tempat yang gak terlalu rame, baru coba menawar. Deal 300ribu keliling Sabang sampai tiba waktu kapal kembali ke Banda Aceh.

kedai dekat titik 0 kilometer, makan rujak dan kelapa muda

Pak Safran nama si driver, dia cerita udah punya beberapa mobil rental. Sekali-sekali dia ikut jadi supir juga. Pelayanannya lumayan. Awal-awal, dia cuman ngantar dan nunggu di mobil. Tapi kalo kita minta difotokan, dia bersedia dengan senang hati. Malah di benteng Jepang, menanyakan apakah perlu ditemani ke atas atau tidak. Saya bilang gak perlu, tapi belakangan menyesal, karena diatas sepi banget dan pemandangannya keren. Kontak Pak Safran di 085270455748.

Nyaris semua tempat dikunjungi, kecuali air terjun. Kuatir waktunya gak cukup, padahal ternyata masih banyak waktu tersisa pada saat udah selesai dan sampai di pelabuhan. Paling ideal minimal nginap semalam, biar bisa merasakan snorkling di Pulau Rubiah yang terkenal dengan pantai Iboih. Tapi saya sudah cukup puas, lagian mana enak snorkling sendirian.

20160808_161854

Pantai Lampuuk

Tiba di pelabuhan Banda Aceh, saya lanjut ke pantai Lampuuk. Kerennnn. Ada jam bukanya maksimal sampai maghrib. Bagus juga tuh untuk dicontoh di daerah lain. Biar tempat-tempat seperti ini gak disalahgunakan. Banyak bale-bale disediakan, cukup pesan makan dan minum minimal air kelapa muda jika ingin duduk di bale-bale tersebut. Saya gak pesan makan disini, masih kenyang dan kepengen mencoba ayam tangkap nanti. Ayam tangkap merupakan salah satu makanan khas Aceh, ayam goreng kampung dengan bumbu dan rempah khas supaya gurih. Digoreng bersama daun-daunan seperti  daun kari, potongan daun pandan dan salam koja.

Hari terakhir sebelum ke bandara, saya ditemani Kak Ema teman kantor Banda Aceh. Kak Ema ini sempat satu diklat muda tahun 2007, baru ketemu lagi sekarang. Kita ke Museum Tsunami, PLTD Apung, dan perahu di atas rumah Lampulo.

Kapal PLTD Apung menjadi saksi bisu dahsyatnya tsunami yang terjadi tanggal 26 Desember 2004. 2kali terhempas sampai sejauh 5km dari pelabuhan Ulee Lheu ke Lampase lalu ke Punge Blang Cut, tempatnya sekarang. Kapal ini juga menjadi penyelamat sebagai tempat mengungsi orang-orang yang selamat dan terdapat stok bahan bakar sebanyak 800kilo liter. Keberadaan kapal ini di Banda Aceh untuk mengatasi gangguan listrik akibat seringnya terjadi gangguan keamanan dari GAM waktu itu dan sudah banyak mengatasi krisis listrik di berbagai tempat di Indonesia. Juni 2010, PLN akhirnya secara resmi merelakan asset ini untuk dijadikan penanda sejarah tsunami dengan mencabut mesin-mesinnya.

Perahu yang diatas rumah Lampulo terdampar sejauh 1 km dari tempatnya. Perahu itu baru saja selesai perbaikan dan siap untuk difungsikan menangkap ikan. Rupanya Tuhan berkehendak lain, perahu itu malah terdampar akibat gelombang tsunami dan menyelamatkan 59 orang yang terjebak di Lampulo.

Museum Tsunami yang didesain sama Ridwan Kamil sebagai museum simbolis gempa bumi dan tsunami sekaligus juga berfungsi sebagai pusat pendidikan dan tempat perlindungan darurat. Masuk ke museum ini melalui lorong yang gelap dan lembab dimana terdengar suara desir-desir ombak dan gemericik air. Bikin merinding bulu kuduk, semakin merinding saat tiba di ruangan The Light of God atau sering disebut sumur doa. Di dalam ruangan  yang berbentuk cerobong ini penuh bertuliskan nama-nama korban tsunami. Kami juga ikut nonton film dokumenter terjadinya tsunami, pada hari minggu saat car free day terjadi gempa bumi dan disusul gelombang tsunami yang dahsyat 5 menit kemudian. Kak Ema juga bercerita, keluarga suaminya hampir 80orang yang jadi korban termasuk mertua. Kemudian ada beberapa diorama dan maket menampakkan dampak akibat tsunami.

Yang menarik museum ini gratis tanpa dipungut biaya masuk. Mudah-mudahan tetap gratis terus tapi tetap terawat.

Selesai dari ketiga tempat tersebut, saya diajak Kak Ema cari makanan khas Aceh. Seperti rumah makan padang tapi makanan khas Aceh. Ayam tangkap, Ikan kayu yang diolah berbagai macam, udang dan lain-lain. Kata Kak Ema yang orang Padang, perbedaan dengan masakan Padang adalah masakan Aceh banyak menggunakan kelapa parut goreng sementara masakan Padang menggunakan santan.

Hari itu juga adalah hari pertama Terminal 3 bandara Sukarno Hatta yang baru beroperasi. Masih semrawut. Penumpang Garuda di Terminal 3 banyak yang ngemper di lantai menunggu dekat gate, nyaris semua penerbangan delay. Dari Banda Aceh, delay 2 jam, sampai di Jakarta delay lagi sekitar 2jam.

Titik nol kilometer di Sabang, done. Next Merauke.

20160809_120412

Masjid Baiturrahman, lagi ada pembangunan payung di halaman masjid mau seperti Masjid Nabawi.

Advertisement

4 thoughts on “Mulai dari Nol Yah (Titik Nol Kilometer Indonesia)

  1. Alhamdulillah sampai juga Mbak….
    Aku kemarin apa terlalu takjub apa rempong sama Ade, sampe lupa foto-foto di nol kilometer, PLTD Apung..banyakan motoin orang hehehe

    Pantainya cakep-cakep ya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s