Di kali ketiga ke Labuan Bajo, akhirnya kesampaian juga ke Waerebo. Pertengahan tahun lalu, udah niat banget kesini tahun lalu, meski harus solo traveling. Waktu itu ada kegiatan kantor pusat di Labuan Bajo, begitu selesai dan udah pesen bus ke Ruteng, eh masih ada perintah bos yang tidak bisa dihindari. Jadi batal. Saya lalu merencanakan lagi kegiatan di Labuan Bajo di sekitar bulan November, bikin press gathering ngajak media lokal di wilayah kerja se Sulawesi Maluku. Dari Makassar sudah ada pesawat langsung ke Labuan Bajo, hanya sekitar 1 jam. Ada 2 orang dari tim saya yang pengen ikut bertualang ke Waerebo. Jadilah kami berangkat duluan hari Sabtu pagi memanfaatkan weekend. Tiba di bandara, udah langsung dijemput sama driver namanya pak Anton yang akan mengantar kita sampai di desa Denge, desa terdekat sebelum hiking ke Waerebo. Paket tur ke Waerebo ini kita beli di tra****ka. Harga 1,475,000IDR. Paket segitu sudah termasuk penjemputan dari dan ke airport/hotel, biaya nginap semalam, makan malam, sarapan pagi dan biaya sumbangan adat sukaerela di Waerebo, biaya guide dan beberapa tempat wisata sekitar seperti ke cancar. Belum termasuk biaya ojek dari Desa Denge sampai ke pos 1 tempat dimana mulai jalan kaki. Biaya ojek termasuk biaya tambahan (opsional) karena memungkinkan untuk jalan kaki sampai pos 1.
Wae Rebo merupakan kampung adat tradisional yang di tahun 2012 sempat mendapatkan penghargaan Warisan Budaya Asia Pasifik UNESCO karena telah berhasil melestarikan struktur dan bangunan rumah adat Mbaru Niang yang unik. Tidak mudah untuk melihat eksotisme Desa Wae Rebo yang berada di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut, butuh effort karena lokasinya di lembah pegunungan Manggarai.
Perjalanan dari Labuan Bajo ke Denge sekitar 5jam. Kami tiba di Denge sekitar jam 1 siang. Kami diantar ke tempat makan siang yang berada di dekat situ. Sepertinya semua yang akan ke Waerebo, makan siangnya disini. Disini juga tersedia penginapan jika kemalaman tiba di desa Denge. Lumayan viewnya, keliatan pemandangan laut dengan pulau cantik yang ada di tengahnya. Harga per paket makan siang kalo gak salah sekitar 65ribu/orang. Menunya ikan bakar dan sayur.
Kami lalu dikenalkan dengan guide yang akan mengantar kami ke Waerebo. Disini kami berpisah dengan pak Anton driver kami. Selanjutnya naik ojek sampai pos 1 dengan harga 50ribu/orang/pulang pergi. Kita juga yang bayarkan ojeknya si guide. Bersyukur kami memilih naik ojek, karena meski jalan kaki gak terlalu jauh hanya sekitar 2km tapi jalan menanjak. Lumayan menghemat tenaga.
Pak guide (lupa namanya) membantu membawa ransel saya dan Dinda. Kami sudah mempersiapkan ransel kecil yang cukup untuk 1 baju ganti dan perlengkapan lainnya, barang yang lain di taruh di mobil. Jadi kami bisa melenggang kangkung berjalan kaki. Di awal sebelum ke Waerebo, saya dengan percaya diri bilang insya Allah kalo cuman 3 jam jalan kaki pasti bisa. Karena udah punya pengalaman naik Rinjani sampai puncak selama 4 hari jalan kaki. Ternyata saya harus banyak berhenti untuk beristirahat karena nafas ngos ngosan. Udah gitu ngantuknya luar biasa. Faktor umur kali ya, saya ke Rinjani itu sudah 5 tahun lalu. Sementara Fiar dan Dinda biasa-biasa aja tuh, malahan saya banyak ditunggu. Perjalanan melalui lereng gunung yang menanjak dengan jarak tempuh sekitar 2-3 jam. Ada juga sih bagian jalan yang landai tapi tidak terlalu banyak. Bersyukur bahwa dulu saya gak jadi sendirian berpetualang ke Waerebo ini, gak kebayang tuh sendirian di tengah hutan. Meski sudah banyak solo traveler wanita yang sudah bepergian kesini dan menyatakan aman-aman saja.
Kami sampai ke pos 2, dari sini kondisi jalan sudah landai. Masih tersisa 1 jam perjalanan lagi dari sini ke Waerebo. Sebelum memasuki Wae Rebo terdapat pondok dimana guide akan membunyikan kentongan yang menandakan bahwa akan ada tamu yang akan memasuki Wae Rebo.
Si guide mengingatkan agar selalu menjaga adab saat berkunjung ke Waerebo, sebagaimana layaknya tamu berkunjung. Seperti menjaga tutur kata dan menjaga perilaku. Si guide asli Waerebo tapi sudah tinggal di desa Denge. Jaman dulu dia sudah terbiasa untuk memikul hasil kopi Waerebo untuk ditukarkan dengan beras. Berangkat pagi memikul kopi kemudian di siang hari kembali dengan beras minimal sekali pikul 25kg. Wow.
Begitu tiba di Waerebo, rasanya bahagia banget dan kantuk yang mendera selama perjalanan tiba-tiba lenyap. Tiba di Waerebo, kita akan diarahkan ke rumah utama yang dinamakan Niang Gendang untuk mengikuti upacara Waelu’u terlebih dahulu. Rumah itu merupakan tempat tinggal ketua adat. Gak lama, hanya sekitar 5 menit tujuannya untuk memohon ijin ke para leluhur Wae Rebo. Oleh guide, kita diminta memberikan kontribusi seikhlasnya dan kita ngasih 50ribu. Setelah itu baru bebas melakukan aktivitas apapun. Begitu tau kita dari Makassar, ketua adatnya juga bercerita tentang anaknya yang sedang berkuliah di Makassar. Kami sempat berfoto bersama dengan ketua adat baik di dalam rumah maupun di luar rumah.
Rumah adat Mbaru Niang memiliki bentuk yang cukup unik, yaitu seperti lumbung kerucut dan jumlahnya hanya tujuh buah saja. Setelah ritual doa, kami dijelaskan bahwa setiap rumah dihuni oleh enam hingga delapan keluarga. Mbaru Niang terdiri dari lima tingkat dengan atap daun lontar dan ditutupi oleh ijuk. Strukturnya cukup tinggi sekitar 15 meter. Setiap tingkat memiliki fungsi masing-masing. Tingkat pertama atau lantai dasar digunakan sebagai tempat tinggal, tingkat kedua untuk tempat penyimpanan barang-barang sehari-hari dan juga bahan makanan, tingkat ketiga digunakan untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan, tingkat keempat digunakan untuk menyimpan stok pangan dan tingkat kelima untuk tempat sesajian para leluhur.
Kami diarahkan menyimpan barang di rumah yang dijadikan tempat menginap. Sudah banyak yang datang di hari itu, semakin sore semakin banyak dan menjadikan rumah itu penuh. Katanya kalo rumah tersebut penuh, yang lain akan diarahkan ke rumah kedua. Rumah itu hanya beralaskan tikar, ada bantal dan selimut yang disediakan. Dan semuanya akan tidur berdampingan sesuai lingkaran rumah. Makan malam juga di tempat yang sama. Seluruh tamu di minta untuk berkumpul bersama barulah dimulai kegiatan makannya. Makannya sederhana, tapi jadi nikmat banget karena makan bareng dan di kampung. Gak ada sinyal apalagi jaringan internet disini, jadi paling kita menghabiskan waktu dengan berkenalan sesama traveler lain kemudian tidur.
Di pagi hari, kami cepat-cepat mandi biar gak terlalu ngantri. Kamar mandinya kalo gak salah ada sekitar 5-6 buah dan dalam keadaan terpelihara. Kami bersiap-siap akan pulang setelah sarapan dan setelah berfoto-foto lagi sampai puas. Seperti halnya makan malam, akan dibunyikan kentongan tanda panggilan makan. Sarapannya nasi goreng kampung dan telur dadar. Kami memberikan permen dan snack yang sudah kami siapkan buat anak Waerebo, tapi ngasihnya ke orang tuanya. Biar orangtuanya saja yang memberikan ke anak. Memang ada larangan untuk memberikan langsung dalam bentuk apapun ke anak-anak tersebut, untuk menghindari kebiasaan minta-minta. Disini juga dijual beberapa jenis souvenir dan kain khas Ruteng, Dinda minta ijin untuk menyewa kain tersebut buat foto-foto dan diperbolehkan.
Di perjalanan pulang, kami bertemu dengan bule orang tua yang sudah lama tinggal di Indonesia. Dia bercerita dengan bahasa Indonesia yang sangat fasih bahwa dia sudah berkeliling sendirian dengan naik motor di pulau Jawa, Bali, NTT, NTB dan Sulawesi. Banyak hal dia cerita ngalor ngidul selama 2 jam perjalanan. Tentang sepatu hiking, tentang motor yang dipake selama perjalanan, tentang tempat kosnya di Bali dan sebagainya. Udah gak ingat lagi detilnya. Perjalanan pulang lebih mudah dibanding perjalanan pergi karena lebih banyak turunan dan jalan landai.
Dalam perjalanan pulang ke Labuan Bajo, kami mampir di desa Cancar tempat untuk melihat sawah yang pola teraseringnya membentuk seperti jaring laba-laba. Pola yang terbentuk merupakan adat istiadat yang turun temurun terkain dengan pembagian lahan sawah yang disebut lingko. Untuk melihat view tersebut kita masih harus menapaki anak tangga, tapi gak jauh kok. View yang paling keren itu adalah saat musim tanam sampai panen. Kalo datangnya pas abis musim tanam yah gak terlalu menarik.
Pak Anton menawarkan untuk melihat sunset di cafe La Cecile sebelum diantar ke hotel. Tawaran itu tentu saja tidak kami lewatkan. Duh, view sunset di cafe ini juara banget, makanannya juga lumayan beragam dan lumayan enak dengan harga standar cafe. Keindahan panorama hamparan laut Flores dengan sinar senja menjadi pengalaman tak terlupakan.
Berhubung ini masih acara pribadi, malam itu di Labuan Bajo kami menginap di Gardena. Hotelnya kecil saja dan murah meriah. Kamarnya model cottage dan berada di ketinggian, view dari sini kelihatan laut dan pelabuhan Labuan Bajo. Katanya sunset indah dapat dinikmati dari teras kamar. Fasilitasnya so-so lah cuman ada kipas angin di dalam kamar dan tempat tidur berkelambu. Sengaja pilih disini supaya kami bisa jalan kaki saja makan seafood di Kampung Ujung. Keesokan paginya kami masih meminta pak Anton untuk menjemput dan mengantar kami ke hotel tempat kegiatan kami berlangsung.
Alhamdulillah sudah ke Waerebo. Indahnya Indonesia.
Hi kak, perkenalkan saya Irene, saya sangat tertarik membaca blog ini karena kebetulan saya ada planning mau ke Waerebo april ini. Bila tidak keberatan saya mau tanya, apakah waerebo bisa ditempuh pulang pergi? Dan apakah bisa dibagi kontak person tour guide nya mba?
Terima kasih sebelumnya
Maksudnya waerebo bisa di tempuh pulang pergi dalam 1hari? Kalo posisinya sdh di denge menginap bisa aja sih start pagi pulang sore. Tapi kalo tiba siang di denge, trus lanjut perjalanan ke waerebo kurleb 3 jam ya harus nginap mbak. Sy kasih kontak pak Anton driver yg ngantar kami dari labuan bajo ke denge. Mungkin bisa cari info ke dia, 081353412400