Persiapan Menjejak Himalaya

Akhirnya, kami benar-benar berangkat ke Nepal juga. Dua minggu sebelumnya, berita tentang kerusuhan di Kathmandu sempat membuat saya bimbang — antara menunda atau tetap melanjutkan perjalanan yang sudah lama kami rencanakan. Tapi setelah memastikan kondisi mulai kondusif, saya terus nyari update info dari berbagai media salah satunya juga lewat grup grup nepal di Facebook dan memutuskan untuk tetap berangkat, bersama anak anak  saya: Aya dan Nay.

Trip ini memang request dari Aya dan Nay. 2tahun lalu, pas lagi nonton youtuber Leonardo edwin yang ngevlog trekking di Everest Basecamp, mereka bilang gini, “Pokoknya kalo ke Nepal harus ajak kami”. Gayung bersambut, Nepal pasti jadi destinasi saya. Dan saya juga kebingungan mau ngajak siapa, secara gak mudah cari teman traveller yang punya passion trekking. 6 bulan lalu, pas ada tiket promo Srilankan Air KL-Kathmandu, saya  3.5juta pp. Setelah mencocokkan jadwal saya dan mereka, jadilah kita issued untuk keberangkatan di akhir September. Belakangan ternyata Aya seharusnya bisa seminar proposal di tanggal kita pergi dan memungkinkan wisuda bulan November, hiks. Yah sudahlah, yang penting dia udah janji untuk bisa selesai dan ikut periode wisuda berikutnya. Nay, baru awal semester ganjil, udah mulai kuliah. Jadi sambil trekking sambil absen di web. Untung sinyal masih ada diatas gunung. Kalau saya bisanya traveling awal tahun dan sekitar september-oktober. Diluar jadwal itu udah gak berani minta cuti. Inipun H2C minta cutinya, baru kali ini saya cuti lebih dari 7 hari dan alhamdulillah di kasih.

Untuk Jakarta-KL saya beli Airasia 1.9juta pp. Belum beli bagasi karena masih mikir kemungkinan kita sewa peralatan trekking di Kathmandu, jadi dari Jakartanya cukup memanfaatkan batas berat bagasi cabin saja. Tapi akhirnya beli bagasi juga, daripada ribet nyari tempat sewa dan was-was pemeriksaan bagasi airasia. Trus ada trekking pole yang wajib masuk bagasi checked in. Kami beli 1 bagasi check in 20kg seharga 950ribu pp dibagi 3 orang jadi tambahannya masing 325ribu. Jadi total biaya tiket 5,7juta pp. Masih murah lah ya. Saya sengaja pilih Srilankan Airlines biar bisa transit dan jalan-jalan sehari di kota Colombo. Sekali jalan, bisa ngunjungin 2 negara sekaligus.

Informasi pertama yang saya cari adalah mau kemana trekkingnya? Yang populer ada 3: Everest Base Camp (EBC) , Annapurna Base Camp (ABC) dan Annapurna Circuit (AC). Berikut perbedaannya:

Jalur naik dan turun untuk trekking ABC dan EBC sama, sedangkan AC jalurnya loop/melingkar (beda jalan naik dan jalan turun). Jadi berdasarkan hal diatas dengan total durasi perjalanan kami 12 hari maka kami trekkingnya ke ABC.

Apakah bisa tanpa guide dan tanpa porter? Banyak referensi yang menyatakan bisa. Ada peta offline yang di download di maps.me yang cukup akurat, jalurnya kira-kira 95% jelas. Kadang-kadang ada percabangan yang membingungkan tapi sebenarnya ujungnya mengarah ke satu tujuan. Entah itu yang satunya khusus jalur kuda dan satunya lagi untuk manusia, atau dibuat alternatif karena longsor atau supaya jalurnya lebih aman untuk para trekker. Kalo masih ragu sisa bertanya ke warlok atau trekker yang berpapasan. Jalur yang saya lewati: Motyu jeep Station-Jhinu Danda-Chomrong-Lower Sinuwa-Upper Sinuwa-Bamboo-Dovan-Himalaya-Deurali-MBC-ABC. Nah disetiap area itu banyak tea house untuk istirahat makan siang atau jadi tempat menginap. Jarak satu area dengan yang lain sekitar 2-3jam (durasi untuk slow trekker seperti saya).

Udah sepakat sama anak-anak untuk gak pakai porter. Mending duitnya diinvest ke peralatan trekking yang light weight. Saya beli 2 carrier yang ringan, 2 sleeping bag 300-400gram, tambahan 2 trekking pole, baju dan celana dryfit dan ultrawarm heattech. Rajin banget tuh ke toko olahraga nyari diskon trus sempat ke Indofest (pameran alat-alat outdoor bulan Juni kemarin). Selebihnya pakai barang yang udah ada. Total barang bawaan kita pas berangkat sekitar 28kg untuk bertiga. Itu masih berat untuk digendong, apalagi saya yang udah jompo hanya bisa sanggup dibawah 6kg. Jadi saya mencoba sistem titip menitip. Di Pokhara sebelum berangkat trekking saya menitip di hotel, sebagian pakaian bersih dan sebagian lagi pakaian kotor untuk di laundry (karena kami mampir di KL, Colombo dan perjalanan Kathmandu-Pokhara). di Jalur treeking saya menitip pakaian bersih dan kotor di teahouse tempat kami menginap di Chomrong, dan titip lagi pakaian kotor di Himalaya, dan titip carrier di MBC sementara kita muncak ke ABC. Alhamdulillah lancar dan free. Cukup belanja makan aja di tea house tersebut saat mengambil barang yang kita titipkan dan kembali ke Pokhara nginap di hotel yang sama.

Biaya porter sekitar 25usd dengan beban max 15-20kg, Biaya guide sekitar segitu juga. Ada juga guide merangkap porter. Prinsip saya sepanjang masih doable untuk dilakukan dan bisa dilakukan pengaturan yang baik, gasskeun.

Packing list akan saya share di postingan berikutnya yah.

Persiapan fisik.

Setelah beli tiket, niatnya sih minimal 1x sebulan trekking ke gunung. Realisasinya cuman berhasil 1x ke gunung yaitu Gunung Merbabu. Itupun cuma saya dan Aya. Nay sibuk sekali, sayanya juga mager kalo cuma berdua sama Aya. Nay sempat ke Gunung Burangrang tektok sama teman-temannya. Niat naik gunung itu lebih kepada latihan bawa carrier supaya bisa ngukur kemampuan dan mutusin pakai porter atau tidak. Pas perjalanan naik ke Gunung Merbabu, saya liat Aya sedikit kewalahan dengan carrier. Jadi begitu pulang ditawarin sama panitia buat ojek carrier, saya langsung mau. Tapi paling tidak sudah bisa ngukur kemampuan, tanpa porter pun bisa asal berat carrier dikurangi. Kami sepedaan, jalan pagi pas weekend, jalan sore pas weekdays, work out di rumah. Ini juga sesempatnya saja. Sekitar 60% medan trekking adalah tangga, selebihnya jalan setapak yang landai. Jalur Bamboo-Chomrong naik tangganya bisa 2500 anak tangga. Jadi kalo mau latihan fisik bisa tuh rajin latihan naik tangga.

Untuk kebutuhan air minum, saya memilih kombinasi beli dan mensterilkan air pakai tablet penjernih. Ada juga cara pakai filter botol seperti life straw atau filter portable seperti steripenatau mini sawyer. Tapi lumayan juga harga alatnya yang bagus sekitar 500ribu-1juta. Di Chomrong masih tersedia air mineral kemasan botol 1 liter, tea house setelahnya hanya menyediakan air masak atau filtered water. Makin tinggi, makin mahal. contoh di Chomrong harga air 1L 120NPR sekitar IDR14000, mulai Dovan jadi 200NPR. Sementara makin tinggi, wajib banyak minum. Seharian per orang minimal 3 L. Jadi tiap abis langsung beli. Saya juga sempat beli online aquatabs 1 strip isi 10 biji seharga 50ribu. Penggunaannya 1 tablet untuk 1 liter air dan ditunggu sekitar 30 menit baru minum. Dan berapa harga aquatabs di Kathmandu? 50butir harga IDR 30000. Dan itu kami baru tau setelah selesai trekking dan udah balik ke Kathmandu. Jadi saran beli aja aquatabs dan diamox (obat untuk mengantisipasi AMS) di Kathmandu. Banyak air kran dan sumber mata air di jalur trekking kok.



Leave a comment